Rabu, 06 April 2011

Pandangan manusia terhadap keindahan seni (manusia dan keindahan)


Pandangan manusia terhadap keindahan seni.
Manusia pada umumnya senang pada sesuatu keindahan.
Keindahan itu adalah sesuatu yang bisa membuat kita menjadi senang baik jiwa maupun raga atau sering disebut keadaan yang enak di pandang. Keindahan juga dikatakan beauty is in the eye of the beholder atau “keindahan itu berada pada mata yang melihatnya”.
Keindahan bisa dilihat melalui lahiriah atau batiniah, secara lahiriah keindahan bisa langsung di pandang dan nikmati begitu saja, misalnya seperti keindahan paras cantik dan tampan seorang manusia, keindahan akan alam, pemandangan gunung, pantai, dasar laut, cahaya kota di saat malam hari, dll. dan secara batiniah bisa seperti perilaku, sikap, perasaan dan semua itu tidak bisa di lihat secara langsung.
Ditulisan ini saya mengambil contoh manusia terhadap keindahan seni.
Kehidupan manusia dari zaman ke zaman tidak terpisahkan dari keindahan.
Manusia dan keindahan tidak bisa dipisahkan karena keduanya berkaitan satu sama lain.
Seni merupakan suatu pengungkapan dari perasaan manusia.
Pengertian keindahan sering mengacaukan pengertian tentang seni, karena keindahan itu sering disamakan begitu saja dengan seni. Yang dapat dikatakan keindahan seni ialah keindahan yang dapat diciptakan manusia.
Pandangan terhadap seni pada saat ini bukan hanya sebatas yang terdapat dari alam tetapi juga hal yang tak tampak dan yang bersifat abstrak, sehingga keindahan menjadi dorongan pemikiran manusia untuk menciptakannya.
Kita sebagai manusia tidak dapat berpaling dari hal tersebut, seni akan mempengaruhi pikiran pembuat ataupun yang melihatnya sehingga terjadi pengungkapan perasaan yang menghasilkan interaksi. Luasnya pandangan terhadap seni memberikan kepuasan bagi pembuat untuk berekspresi menciptakan karya yang mempunyai sifat bermacam-macam seperti naturalis, realis, abstrak, dll






Penderitaan termasuk realitas dunia dan manusia. Intensitas penderitaan manusia bertingkat-tingkat, ada yang berat dan ada juga yang ringan. Namun, peranan individu juga menentukan berat-tidaknya Intensitas penderitaan. Suatu perristiwa yang dianggap penderitaan oleh seseorang, belum tentu merupakan penderitaan bagi orang lain. Dapat pula suatu penderitaan merupakan energi untuk bangkit bagi seseorang, atau sebagai langkah awal untuk mencapai kenikmatan dan kebahagiaan.
Akibat penderitaan yang bermacam-macam. Ada yang mendapat hikmah besar dari suatu penderitaan, ada pula yang menyebabkan kegelapan dalam hidupnya. Oleh karena itu, penderitaan belum tentu tidak bermanfaat. Penderitaan juga dapat ‘menular’ dari seseorang kepada orang lain, apalagi kalau yang ditulari itu masih sanak saudara.
Mengenai penderitaan yang dapat memberikan hikmah, contoh yang gamblang dapat dapat dicatat disini adalah tokoh-tokoh filsafat eksistensialisme. Misalnya Kierkegaard (1813-1855), seorang filsuf Denmark, sebelum menjadi seorang filsuf besar, masa kecilnya penuh penderitaan. Penderitaan yang menimpanya, selain melankoli karena ayahnya yang pernah mengutuk Tuhan dan berbuat dosa melakukan hubungan badan sebelum menikah dengan ibunya, juga kematian delapan orang anggota keluarganya, termaksud ibunya, selama dua tahun berturut-turut. Peristiwa ini menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi Soren Kierkegaard, dan ia menafsirkan peristiwa ini sebagai kutukan Tuhan akibat perbuatan ayahnya. Keadaan demikian, sebelum Kierkegaard muncul sebagai filsuf, menyebabkan dia mencari jalan membebaskan diri (kompensasi) dari cengkraman derita dengan jalan mabuk-mabukan. Karena derita yang tak kunjung padam, Kierkegaard mencoba mencari “hubungan” dengan Tuhannya, bersamaan dengan keterbukaan hati ayahnya dari melankoli. Akhirnya ia menemukan dirinya sebagai seorang filsuf eksistensial yang besar.
Penderitaan Nietzsche (1844-1900), seorang filsuf Prusia, dimulai sejak kecil, yaitu sering sakit, lemah, serta kematian ayahnya ketika ia masih kecil. Keadaan ini menyebabkan ia suka menyendiri, membaca dan merenung diantara kesunyian sehingga ia menjadi filsuf besar.
Lain lagi dengan filsuf Rusia yang bernama Berdijev (1874-1948). Sebelum dia menjadi filsuf, ibunya sakit-sakitan. Ia menjadi filsuf juga akibat menyaksikan masyarakatnya yang sangat menderita dan mengalami ketidakadilan.
Sama halnya dengan filsuf Sartre (1905-1980) yang lahir di Paris, Perancis. Sejak kecil fisiknya lemah, sensitif, sehingga dia menjadi cemoohan teman-teman sekolahnya. Penderitaanlah yang menyebabkan ia belajar keras sehingga menjadi filsuf yang besar.
Masih banyak contoh lainnya yang menunjukkan bahwa penderitaan tidak selamanya berpengaruh negatif dan merugikan, tetapi dapat merupakan energi pendorong untuk menciptakan manusia-manusia besar.
Contoh lain ialah penderitaan yang menimpa pemimpin besar umat Islam, yang terjadi pada diri Nabi Muhammad. Ayahnya wafat sejak Muhammad dua bulan di dalam kandungan ibunya. Kemudian, pada usia 6 tahun, ibunya wafat. Dari peristiwa ini dapat dibayangkan penderitaan yang menimpa Muhammad, sekaligus menjadi saksi sejarah sebelum ia menjadi pemimpin yang paling berhasil memimpin umatnya (versi Michael Hart dalam Seratus Tokoh Besar Dunia).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar